Pages

Kamis, 19 Mei 2011

beasiswa khusus anak yatim

Bismilahirahmanirahim, kesempatan bagi anda yang berminat kuliah tetapi tidak punya duiit, silahkan hubungi secapatnya sampai tanggal 30 Juli untuk JABAR dan Banten hubungi kang agus 085220141414 dan JABOTABEK 021-68943243, terima kasih kepada mitra dan donatur yang telah mendukung PROGRAM BEASISWA baik denga moril maupun materil untuk kemajuan putra bangsa



voucher.png

Ujian akhir nasional sudah berakhir. Menyisakan kegembiraan bagi yang lulus, kekecewaan bagi yang tidak lulus atau asal lulus, dan kebingungan setelah kelulusan mau kemana.

Dalam pentas kehidupan kebingungan dan keraguan adalah hal lumrah. “Biasa saja”, Yusril Ihza Mahendra Mantan Mensesneg berkata, ketika menjawab pertanyaan wartawan sehbungan diberhentikannya sebagai menteri. Walaupun hati beliau mungkin berkata lain.

Kata “biasa saja” menurut penulis jangan diartikan sikap menyepelekan persoalan. Tetapi lebih tepat adalah sebagai sikap manusia yang tawakal. Ketika pemberhentian atas sebuah jabatan hendaknya diartikan sebagai takdir ilahi sebagai pertanda kasih sayang pada umatnya.

Sebelum takdir datang, kita semua diwajibkan untuk berusaha keras menjawab berbagai persoalan kehidupan, termasuk saudara-saudara calon mahasiswa. Suasana kegembiraan atas kelulusan segera diakhiri, karena tantangan besar sudah di depan mata. Pilihan yang tersedia tidak selalu sesuai dengan harapan dan ketersedian sumberdaya khususnya kecukupan uang.

Sebagai ilustasi, calon mahasiswa adalah penumpang kapal layar menuju pelabuhan cita-cita. Ada pelabuhan dokter, insinyur, ekonom, akuntan, pebisnis dan sebagainya. Pastinya para penumpang ingin sampai ke pelabuhan dengan cepat dan selamat serta ongkos yang murah.

Kapal cepat dan aman adalah kapal bagus, lengkap, teknologi baru dan diawaki yang oleh kru yang handal. Investasi pembangunan dan operasional kapal tersebut pasti mahal. Sehingga bagaimana mungkin ketika kapal diluncurkan hanya dibayar ongkos yang murah. Investor rugi besar.

Begitupula pengelolaan kampus yang kualitas memerlukan dana besar. Seperti untuk membeli tanah, membangun gedung, pengadaan sarana: lab. komputer, lab. bahasa, olah raga dan seni, sistem informasi, fasos dan lain sebagainya. Jadi bagaimana mungkin calon mahasiswa berkantong tipis dapat sampai dengan cepat dan aman ke pelabuhan karier dengan kapal “kampus handal”, yaitu kampus yang mampu mengawal masa depan penumpangnya kepada pelabuhan “cita-cita”.

Memang jalur PMDK dan SPMB menjajikan. Sayangnya lebih sedikit kursi daripada peminatnya. Tetapi jangan pesimis dulu kawan. Keinginan dan tekad untuk kuliah jangan kendur karena jika teliti, masih ada jalan menuju roma. Kabarnya kuliah gratis bagi siswa prestasi dan “tidak mampu” tersedia di beberapa kampus dan salah satunya adalah STIE Tunas Nusantara (STIE-TN).

STIETN memiliki “motto: kuliah dengan beasiswa tamat jadi wirausaha”. Tahun 2007/08 sekitar 200 calon mahasiswa ditunggu pendaftarannya pada program kuliah gratis.
Jangan salah paham dulu. Tulisan ini tidak sekedar porno eh maaf salah … yang benar …promo, tapi yang lebih penting adalah informasi yang diterima sebaiknya silakan diuji kebenarannya. Jelasnya di kampus beasiswa-kampus wirausaha yang mengelola program beasiswa/ kuliah gratis sudah diluncurkan sejak tahun 2001 sampai sekarang.

Uniknya Tahun 2005 dan disempurnakan tahun 2006 yang lewat, STIE-TN meluncurkan program wirausaha kuliah gratis ( anti pengangguran ) bagi yatim piatu / ekonomi lemah / prestasi, dimana program pendidikannya terpadu. Tujuan Program diarahkan agar lulusannya menjadi ” imun / kebal / anti ” pengangguran. Artinya hal tersebut dapat diantisipasi melalui sistem pendidikan terpadu “kuliah-latihan-
magang”.

Pendidikan terpadu maksudnya adalah pendidikan yang mengkombinasikan beberapa unsur kegiatan, yaitu Perkuliahan (jam 08.00 – 12.15), Pelatihan bisnis (12 x/th), dan Pemagangan bisnis (3 bulan di semester 2). Selanjutnya para mahasiswadiharapkan sudah memiliki bisnis dan punya penghasilan pada akhir tahun pertama . Dengan demikian tangan tidak berada dibawah lagi, sebaliknya mungkin saja sudah di atas membantu sanak keluarga, bangsa dan negara.

Ayo daftar kuliah “Gratis” dan lulus jadi Pebisnis. Ayo Indonesia Bangkit.

Silakan menggali informasi lebih lanjut ke humas.

Hubungi (SMS juga boleh) bapak:
Agus Selamet [021] 6894-3243.
Rishag Andiko [021] 3235-8269

arti sahabat

sahabat adalah orang yang slalu ada di saat kita susah maupun senang.sahabat adalah orang yang dekat dengan kita dan hidup tanpa sahabat akan terasa hampa

Selasa, 17 Mei 2011

Mata Hati: Cintai Saudara se-iman Melebihi Cinta kepada Dirimu Sendiri

"Dari Anas bin Malik radhiallâhu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Tidaklah (sempurna) iman seseorang diantara kalian hingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri". (H.R.Bukhari dan Muslim).

Catatan: Lafazh hadits diatas terdapat dalam Shahih Bukhari tetapi tanpa kata yang kami garisbawahi "bin Malik ". Kami cantumkan demikian karena naskah aslinya dari kitab "Jami'ul 'ulum wal Hikam" demikian.

Takhrij Hadits secara global

Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, juga dikeluarkan oleh Imam Ahmad, at-Turmuzi, Ibnu Majah, an-Nasai dan Ibnu Hibban.


Makna hadits secara global

Dalam hadits diatas, Rasulullah menjelaskan bahwa salah satu dari ciri kesempurnaan iman seseorang adalah dia memberikan porsi kecintaan terhadap saudara nya se-iman melebihi cintanya pada dirinya sendiri.

Penjelasan tambahan

Dalam riwayat yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad terdapat penjelasan tentang makna penafian iman dalam hadits diatas yaitu menafikan pencapaian hakikat dan puncak keimanan karena banyak sekali disebutkan dalam hadits-hadits Nabi tentang penafian iman lantaran tiada terpenuhinya sebagian dari rukun-rukun dan kewajiban-kewajiban yang terkait dengannya. Seperti dalam makna sabda beliau: "Tidaklah seorang pezina melakukan perbuatan zina ketika dia melakukannya; sedangkan dia dalam keadaan beriman, dan tidaklah seorang pencuri melakukan pencurian ketika dia mencuri; sedangkan dia dalam keadaan beriman, dan tidaklah meminum khamar/arak ketika dia meminumnya; sedangkan dia dalam keadaan beriman". Juga dalam seperti dalam sabdanya yang lain: "Tidaklah beriman (sempurna imannya) orang yang tetangganya tidak aman dari ucapan-ucapannya".

Hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik diatas, menunjukkan bahwa seorang Mukmin merasa senang dan gembira bila saudaranya se-iman merasakan hal yang sama dengan yang dia rasakan. Begitu juga, dia ingin agar saudaranya itu mendapatkan kebaikan seperti yang dianugerahkan kepadanya. Hal ini bisa terealisasi manakala dada seorang Mukmin secara sempurna terselamatkan dari penyakit dengki dan ngibul. Sebab sifat dengki mengindikasikan bahwa si pendengki tidak suka bila kebaikan seseorang melebihi dirinya atau bahkan menyamainya. Dia ingin agar kelebihan yang ada padanya selalu diatas orang lain dan tidak ada orang yang menyainginya sedangkan keimanan mengindikasikan sebaliknya; yaitu agar semua orang-orang yang beriman sama-sama diberikan kebaikan seperti dirinya tanpa dikurangi sedikitpun. Oleh karena itu, dalam KitabNya Allah memuji orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di muka bumi. Dia Ta'ala berfirman: "Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi..". (Q.,s. 28/al-Qashash: 83).

Diantara hadits yang semakna dengan hadits Anas diatas, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Mu'adz, bahwasanya dia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam tentang iman yang paling utama, maka beliau bersabda: "iman yang paling utama adalah engkau mencintai karena Allah dan membenci karena Allah, engkau pekerjakan lisanmu dalam berzikir kepada Allah". Mereka lantas bertanya : kemudian apa lagi wahai Rasulullah! , beliau menjawab: "engkau mencintai manusia sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri dan engkau benci (sesuatu yang buruk terjadi) terhadapnya sebagaimana engkau membenci hal itu terjadi terhadap dirimu, dan engkau berkata dengan perkataan yang baik atau engkau diam". Namun dalam memaparkan hadits ini, Mushannif memakai lafazh "ruwiya" dimana dalam istilah hadits merupakan bentuk yang menunjukkan "tamridh" alias hadits ini masih dipertanyakan keshahihannya dan kevalidan sumbernya meskipun dari sisi makna adalah shahih.

Implikasi dari terpatrinya sifat iman diatas

Diantara implikasi dari tercapainya keimanan melalui sifat mencintai saudara se-iman seperti tersebut diatas adalah bahwa sifat tersebut dapat membawa pemiliknya masuk surga. Hal ini dipertegas dalam hadits-hadits lain, diantaranya: hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Yazid bin Asad la-Qasri, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadaku: "apakah kamu menginginkan surga?, aku berkata: Ya, lalu beliau bersabda: "oleh karena itu, cintailah saudaramu sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri". Begitu juga hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari 'Abdullah bin 'Amru bin al-'Ash dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "barangsiapa yang ingin agar dirinya dijauhkan dari api neraka dan dimasukkan ke surga, maka hendaklah saat dia menemui ajalnya dalam keadaan beriman kepada Allah dan Hari Akhir, dan dia memberikan kepada manusia sesuatu yang dia suka hal itu diberikan kepadanya".

Hal ini juga diterapkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Dzar al-Ghifari, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadaku: "wahai Abu Dzar! Sesungguhnya aku melihatmu seorang yang lemah, dan aku mencintaimu sebagaimana aku mencintai diriku sendiri; janganlah engkau menjadi amir (pemimpin) atas dua orang, dan janganlah pula engkau menjadi wali atas harta anak yatim". Mengomentari hadits ini, Mushannif mengatakan bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wasallam melarang Abu Dzar untuk melakukan hal tersebut lantaran beliau memandang bahwa dia (Abu Dzar) merupakan sosok yang lemah dalam hal itu (memimpin/leadership), sedangkan beliau mencintai setiap orang yang lemah, termasuk Abu Dzar sendiri. Adapun kenapa beliau dapat menjalankan tugas mengatur urusan orang banyak, hal itu karena Allah telah memberikan kekuatan kepada beliau untuk melakukannya, dan memerintahkan kepada beliau untuk mengajak seluruh makhluk agar loyal terhadapnya serta mengembankan tugas kepada beliau untuk mengarahkan urusan agama dan dunia mereka.

Ada riwayat dari 'Ali bin Abi Thalib yang intinya menunjukkan bahwa dia merealisasikan hadits Anas diatas sebagaimana Rasul juga telah merealisasikannya, namun riwayat tersebut masih dipertanyakan keshahihannya bahkan ada yang mengatakan kualitasnya lemah sekali.

Permasalahan hadits

Ada beberapa permasalahan yang terkait dengan hadits diatas:

1)Masalah pelaku dosa-dosa besar (Murtakibul Kaba-ir)

Para Ulama berbeda pendapat mengenai pelaku dosa-dosa besar; apakah dia seoraang Mukmin tetapi iman nya kurang ataukah dia tidak dinamakan sebagai seorang Mukmin tetapi disebut sebagai seorang Muslim?. Dalam hal ini terdapat dua pendapat yang keduanya merupakan riwayat dari Imam Ahmad.

Sedangkan terhadap pelaku dosa-dosa kecil (Murtakibush Shagha-ir), maka lebel "iman" tidak hilang darinya secara keseluruhan tetapi dia adalah seorang Mukmin yang kurang imannya dan kekurangan ini terjadi sesuai dengan dosa yang dilakukannya.

Mengenai pelaku dosa-dosa besar diatas, pendapat yang mengatakan bahwa pelaku dosa-dosa besar adalah seorang Mukmin yang kurang imannya berasal dari Jabir bin Abdullah (seorang shahabat), Ibnu Mubarak, Ishaq bin Rahawaih, Abu 'Ubaid, dan lain-lain. Sementara itu, pendapat kedua yang mengatakan bahwa pelaku dosa besar adalah seorang Muslim bukan Mukmin berasal dari Abu Ja'far, Muhammad bin 'Ali. Mushannif menyebutkan bahwa ada sebagian ulama yang menyatakan bahwa pendapat ini merupakan pendapat yang dipilih oleh Ahlus Sunnah.

Berkaitan dengan iman, Abdullah bin Rawahah, Abu Darda', Imam Ahmad dan lain-lain menyatakan bahwa iman itu seperti baju yang terkadang dipakai oleh seseorang dan terkadang pula dicopotnya. Menurut Mushannif, makna dari ucapan diatas adalah: bila seseorang telah dapat menyempurnakan sifat keimanan maka dia akan memakainya dan bila keimanan tersebut berkurang sedikit maka dia akan mencopotnya. Hal ini semua mengisyaratkan dapat terealisasinya iman yang benar-benar sempurna yang tidak kurang sesuatupun dari kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengannya. Maksudnya, bahwa diantara ciri-ciri sifat iman yang wajib adalah seseorang mencintai saudaranya se-iman sama seperti dia mencintai dirinya sendiri. Begitu pula, dia tidak suka bila sesuatu terjadi terhadapnya sama seperti dia tidak suka hal itu akan terjadi terhadap dirinya. Bila perasaan semacam itu telah hilang dari jiwanya, maka karenanya pula imannya akan berkurang. Terdapat hadits yang mendukung makna tersebut, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dari Waatsilah bin al-Asqa' dari Abu Hurairah, Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Cintailah manusia sebagaimana engkau mencintai diri sendiri maka engkau akan menjadi seorang Muslim".

2)Masalah orang yang menyombongkan diri dan berbuat kerusakan seperti yang disinggung dalam ayat 83 surat al-Qashash diatas

Dalam ayat 83 surat al-Qashash diatas disebutkan bahwa " Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi..".

Ada yang mengatakan bahwa ayat tersebut berlaku bila seseorang ingin menyombongkan diri atas orang lain bukan karena hanya sekedar menonjolkan keindahan (berindah-indah) semata. 'Ikrimah dan para Mufassir lainnya mengomentari ayat ini dengan mengatakan: (maksudnya) kesombongan di muka bumi adalah takabbur/berlaku sombong dan mencari kemuliaan serta kedudukan di sisi penguasa. Sedangkan maksud dari berbuat kerusakan dalam ayat tersebut adalah melakukan perbuatan maksiat.

Dalam kaitannya dengan hal diatas, banyak hadits yang menyatakan bahwa orang yang tidak suka orang lain melebihi kecantikan/ketampanan dirinya tidak berdosa. Diantaranya, hadits yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad dan al-Hakim dari Ibnu Mas'ud radhiallâhu 'anhu, dia berkata: aku mengunjungi Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam yang saat itu disampingnya ada Malik bin Mararah ar-Rahawi, lantas aku memergokinya berkata kepada Rasulullah: wahai Rasulullah! Engkau telah mellihat bahwa Allah telah memberikan ketampanan kepadaku dan aku tidak suka seorang pun yang melebihiku meskipun seukuran dua pasang sandal atau lebih, apakah hal ini termasuk perbuatan melampaui batas? Beliau bersabda: "tidak, ini bukan termasuk perbuatan melampaui batas, tetapi yang dikatakan melampau batas itu adalah orang yang menolak dan mengingkari kebenaran. (perawi mengatakan: atau sabda beliau-red) orang yang meremehkan kebenaran dan menyombongkan diri terhadap manusia".

Dalam hadits ini Rasulullah menafikan ketidaksukaan terhadap orang yang melebihi diri seseorang dalam keindahan rupa termasuk kategori "baghy" (melampaui batas) atau "kibr" (menyombongkan diri). Bahkan beliau menafsirkan keduanya dengan: "menolak dan mengingkari kebenaran dan takabbur. Juga menolak untuk menerimanya secara sombong bila bertentangan dengan hawa nafsunya". Oleh karenanya, sebagian Salaf berkata: Tawadhu' adalah menerima kebenaran dari siapa saja yang membawanya meskipun lebih muda/kecil; barangsiapa yang menerima kebenaran dari siapa saja yang membawanya meskipun dia muda atau tua, menyukai atau membencinya maka dia adalah Mutawaadhi' (orang yang memiliki sifat tawadhu') sedangkan orang yang menolak untuk menerima kebenaran secara sombong maka dia adalah Mutakabbir (seorang yang memiliki sifat sombong).

3)Masalah tahadduts dengan nikmat

Jika seseorang mengetahui bahwa Allah menganugerahkan keistimewaan kepada dirinya yang tidak dimiliki oleh orang lain lantas dia meceritakan hal itu kepada orang banyak demi kepentingan yang bersifat keagamaan dan dia menceritakan hal itu dalam rangka tahadduts binni'am (menceritakan nikmat) yang diberikan kepadanya. Dalam hal ini juga dia melihat bahwa dirinya belum maksimal dalam bersyukur maka hal ini adalah boleh.

Sikap semacam ini ditunjukkan oleh Ibnu Mas'ud saat berkata: "sepanjang pengetahuanku, tidak ada orang yang lebih mengetahui Kitabullah dari diriku". Meskipun begitu, hal ini tidak menghalangi dirinya untuk selalu menginginkan agar orang-orang dapat menyamainya dalam keistimewaan yang dianugerahkan oleh Allah kepadanya tersebut. Begitu juga, Ibnu 'Abbas pernah berkata: "sesungguhnya saat aku mengkaji dan memahami ayat per-ayat dari Kitabullah, maka kala itu juga aku ingin agar semua orang mengetahui apa yang aku ketahui". Demikian juga dengan Imam asy-Syafi'i saat dia berkata: "aku ingin agar orang-orang yang mempelajari ilmu ini (apa yang ia tulis dalam bukunya, dsb) tidak menisbatkannya kepadaku".

Secara global, hendaklah seorang Mukmin mencintai kaum Mukminin sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri, begitu pula dia tidak suka sesuatu yang jelek terjadi terhadap mereka sebagaimana dia tidak suka hal itu terjadi pada dirinya. Jika dia melihat ada kekurangan dalam masalah agama pada saudaranya se-Islam maka dia berupaya dengan serius untuk sedapat mungkin memperbaikinya.

Dalam hal ini, sebagian Salaf menyatakan bahwa orang-orang yang mencintai saudaranya karena Allah, mereka akan memandang dengan Nur Allah, mereka amat prihatin terhadap kemaksiatan yang dilakukan oleh orang-orang yang berbuat maksiat, mencerca perbuatan tersebut dan berupaya merubahnya melalui nasihat, menyayangkan bila raga mereka dibakar oleh api neraka.

Seorang Mukmin tidak dikatakan sebagai sebenar-benar Mukmin hingga dia rela bila orang lain mendapatkan sesuatu yang baik sebagaimana dia rela hal itu dia dapatkan juga, dan tidak lah dia dikatakan sebagai Mukmin bila melihat kelebihan yang ada pada orang lain melebihi dirinya kemudian dia bercita-cita ingin mendapatkan kelebihan itu pula namun bila kelebihan tersebut dalam masalah yang bersifat keagamaan maka hal itu adalah baik sebab Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam juga pernah bercita-cita mendapatkan kedudukan yang dicapai melalui mati syahid.

Karenanya, Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidaklah boleh mendengki kecuali terhadap dua spesifikasi: seorang yang dikarunia oleh Allah dengan harta, lalu dia infaqkan harta tersebut sepanjang siang dan malam; dan seorang yang dikaruniai oleh Allah dengan Al-Qur'an lalu dia membacanya (dengan mentadabburinya) sepanjang malam dan siang".

Dalam hadits yang lain dijelaskan juga bahwa orang yang melihat saudaranya menafkahkan hartanya di jalan ketaatan, kemudian dia berkata pada dirinya: "andaikan saya memiliki harta seperti itu niscaya akan saya lakukan begini dan begitu (di jalan ketaatan)", maka orang tersebut mendapatkan pahala yang sama dengan orang yang memiliki harta dan menafkahkan hartanya tersebut di jalan ketaatan. Akan tetapi hal ini tidak berlaku dalam masalah duniawi dan tidak baik bercita-cita seperti itu (lihat Q.,s. al-Qashash: 79-80).

Yang jelas, hendaknya seorang Mukmin bersedih bila dia tidak dapat melakukan dan mendapatkan kelebihan dalam hal yang bersifat keagamaan, oleh karena itu diperintahkan kepadanya dalam hal ini untuk memandang kepada orang yang lebih dari dirinya dan berlomba-lomba untuk mendapatkannya dengan seluruh kekuatan dan kemampuan yang ada padanya. Allah berfirman: "…dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba". (Q.,s. 83/al-Muthaffifiin: 26). Dia tidak boleh membenci siapapun yang menyamainya dalam hal ini bahkan amat senang bila semua orang berlomba-lomba di dalamnya dan mengajak orang kepada hal itu.

Inilah tingkatan yang sempurna dalam memberi nashihat kepada kaum Muslimin. Al-Fudhail bin 'Ayadh berkata: "jika kamu ingin agar orang lain sepertimu maka kamu dianggap belum melaksanakan nasihat karena Tuhanmu, bagaimana tidak? Sebab (dengan begitu berarti) anda ingin agar kondisi mereka di bawah anda". Disini al-Fudhail mengisyaratkan bahwa memberi nasihat kepada mereka artinya dia ingin agar mereka melebihi dirinya.

Dan inilah kedudukan dan tingkat yang tinggi dalam memberikan nasihat namun hal ini bukan merupakan suatu kewajiban. Sebenarnya yang diperintahkan oleh syara' adalah keinginannya agar mereka sama seperti dirinya, meskipun demikian bila seseorang melebihi dirinya dalam masalah yang bersifat keagamaan maka dia mesti berusaha untuk mendapatkannya dan bersedih atas ketidak maksimalannya di dalamnya. Hal semacam ini bukan dikategorikan sebagai hasad (dengki) atas karunia yang diberikan oleh Allah kepada mereka akan tetapi dalam rangka berlomba-lomba dengan mereka dalam kebaikan.

Bila seorang Mukmin merasa bahwa dirinya masih belum maksimal dalam menggapai kedudukan yang tinggi dalam masalah yang bersifat keagamaan, maka dia akan mendapatkan dua keuntungan: Pertama , dia akan berupaya untuk mendapatkan kedudukan tersebut dan ingin terus meningkatkannya. Kedua, dia selalu melihat dirinya masih memiliki kekurangan; hal ini berimplikasi kepada sikap ingin agar kaum Mukminin lebih baik dari dirinya karena dia tidak rela kondisi mereka sama seperti dirinya tersebut sebagaimana ketidakrelaannya dengan apa yang terjadi terhadap dirinya bahkan dia akan berusaha memperbaikinya.

Muhammad bin Waasi' berkata kepada anaknya: " mudah-mudahan Allah tidak memperbanyak di kalangan kaum Muslimin orang seperti bapakmu ini". Dengan demikian, bilamana seseorang tidak rela terhadap dirinya maka bagaimana mungkin dia menginginkan kaum Muslimin sama kondisinya seperti dirinya dan memberikan nasihat kepada mereka? Bahkan selayaknyalah dia menginginkan agar kondisi mereka lebih baik dari dirinya dan ingin agar kondisi dirinya selalu lebih baik dari kondisi yang tengah dialaminya.

Intisari Hadits

* Hendaknya seorang Mukmin mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri, begitu pula dia tidak suka bila saudaranya mendapatkan sesuatu yang tidak baik sebagaimana dia tidak suka hal itu terjadi pada dirinya.

* Syara' memerintahkan agar seorang Mukmin selalu menginginkan saudaranya mendapatkan kelebihan yang sama seperti yang Allah anugerahkan kepadanya, namun adalah merupakan tingkatan memberi nasihat yang tinggi bila dia ingin agar saudaranya itu melebihi dirinya dalam hal tersebut.

* Berlomba-lomba dalam ketaatan dan kebaikan bukan termasuk melampaui batas dan hal yang dilarang bahkan dianjurkan.

* Menceritakan nikmat yang dianugerahkan oleh Allah kepada kita dalam rangka bersyukur adalah dibolehkan. Wallaahu a'lam

Mengukur Cinta Kita Pada Orang Tua

Ortu adalah teladan, guru, dan sekaligus pelindung kita. Betapa mulianya jasa mereka membesarkan kita. Dari kecil hingga segede sekarang ini. Apalagi ibu, beliau melindungi kita sejak masih dalam rahimnya sampai saat ini, dan insya Allah sampai akhir hayatnya. Kasih ibu memang sepanjang masa. Nggak pernah luntur di telan jaman. Nggak bakalan pudar dimakan usia. Amat besar cintanya kepada kita. Tinggal bagaimana cinta kita kepada mereka.
Sobat muda muslim, jaman berubah begitu cepatnya. Sampe-sampe kata Bung Ebiet G. Ade dalam sebuah lagunya, �Roda jaman menggilas kita. Terseret tertatih-tatih. Sungguh hidup terus diburu, berpacu dengan waktu��. Bung Ebiet boleh jadi benar bersenandung begitu. Sebab, jaman kiwari ini, dampak perubahan jaman nggak selamanya berbuah kebaikan. Justru sebaliknya, adakala-nya terjadi perubahan ke arah kerusakan nilai.
Ambil contoh, ada anak yang tega membunuh ortunya. Mungkin masih ingat kejadian beberapa tahun lalu di Medan, seorang anak SMU tega membantai anggota keluarganya kakaknya, ibu, dan bapaknya. Aduh, entah setan apa yang merasuk dalam benaknya. Tapi yang pasti, energi cinta sang anak yang seharusnya dialirkan kepada ortunya, ternyata sudah habis tak berbekas, hingga tega �mengantarkan� mereka ke liang lahat secara paksa.
Berubahnya gaya hidup yang seperti inilah yang sangat kita khawatirkan, kawan. Di jaman penulis kecil, ortu adalah segalanya. Ayah memelototkan mata saja, tanda nggak suka dengan perbuatan yang penulis lakukan, rasa takut langsung memenuhi pikiran. Nggak berani balik memandang tajam ke arah wajahnya. Nggak. Nggak berani. Dengan ibu juga demikian, setiap kali ibu minta tolong, rasanya kok nggak enak kalo harus menolak. Meski adakalanya juga menolak, tapi kemudian merasa amat bersalah. Entahlah. Tapi yang pasti, penulis melihat itu secara objektif, kok. Sebab banyak juga teman-teman main penulis yang hormat dan patuh pada ortunya. Mungkin saat itu nggak banyak informasi rusak masuk ke rumah-rumah lewat televisi. Ya, bisa jadi.�
Kalo sekarang? Aduh, berubah total ketimbang 20-an atau 30-an tahun ke belakang. Kalo dulu, betapa rasa hormat kepada ortu masih tersimpan di lubuk hati yang paling dalam. Terawat dan terjaga dalam bingkai rasa cinta. Sekarang rasa cinta itu pudar menjadi sikap saling membenci dan penuh rasa curiga.
Hubungan anak dengan ortu aja sekarang makin kendor. Perhatian ortu yang mulai terbelah mungkin bisa menjadi sebab lunturnya kemesraan antara ortu dan anaknya. Gimana nggak, kalo dulu seorang ibu cukup di rumah menjaga anak-anak dan melindungi kehormatan keluarga, sekarang harus ikutan keluar rumah dan bekerja untuk menopang kebutuhan ekonomi keluarga. Sebab katanya di jaman sekarang nggak cukup cuma mengandalkan tenaga suami. Meski sebetulnya banyak juga para ibu yang terseret arus karena nggak tahu apa-apa. Yang ia tahu hanya satu: emansipasi.
Akibatnya, mudah ditebak saudara-saudara, jarak antara anak dengan ortu menjadi renggang, dan itu banyak menimbulkan masalah. Rasa cinta dan sayang hanya dihargai dengan uang, bukan lagi perhatian dan sikap lemah lembut. Anaknya? Karena diajarkan seperti itu, ia mulai belajar membenci. Jangan heran pula bila kemudian anak menjadi musuh bebuyutan ortunya. Wah, gawat!
Sobat muda muslim, rasa sayang tidak bisa hanya diukur dari materi semata. Nggak. Nggak bisa. Itu sebabnya, dalam tulisan kali ini, kita berupaya merekatkan kembali hubungan antara ortu dan anak yang mulai retak dan hampir lepas. Dan alangkah indahnya bila kita mencoba berinisiatif untuk mencintai mereka. Insya Allah, ortu kita akan terharu dengan sikap kita. Lagipula, untuk berbuat baik, kenapa harus menunggu ortu menyapa kita? Tul nggak? Yup, salurkan energi cinta kita buat mereka. Walau bagaimanapun juga mereka berhak mendapat-kannya dari kita. Dan kita, wajib memberikan-nya. Itu pasti, biar tambah mesra!
Kita lahir karena �cintanya�
Suatu saat nanti, kamu akan tahu sendiri betapa bahagianya punya anak. Ortu kita juga demikian, rasa cinta mereka bersatu dalam ikatan pernikahan, lalu lahirlah kita, anaknya. Sebab rasa cinta adalah perwujudan dari naluri mempertahankan jenis. Buktinya apa? Banyak pasangan yang sudah lama menikah, merasa gelisah bila belum punya anak. Berarti di sini jelas, bahwa cinta berbeda dengan seks dalam pengertian hubungan biologis semata.
Setelah kita lahir, tanggung jawab ortu bertambah, yakni merawat dan membesarkan kita. Dan itu dijalaninya dengan rasa cinta dan sayangnya yang menggunung. Ayah kita rela berpanas-panas dan basah kuyup mencari uang untuk beli susu dan makanan kita. Adakalanya bagi para ayah yang kebetulan kondisi ekonominya termasuk golongan �alit� alias pas-pasan, mereka mencari nafkah harus dengan mengeluarkan keringat, dan bahkan juga darah. Kamu bisa lihat bagaimana para buruh kasar di pabrik, pasar, dan juga pelabuhan. Apa yang bisa kamu bayangkan saat melihat mereka tengah berjuang? Ya, itu bagian dari tanggung jawabnya. Dan jangan lupa, juga bagian dari rasa cinta mereka untuk anak dan istrinya.
Sobat muda muslim, pernahkah kita mengukur rasa cinta kita kepada ortu? Seberapa besar sih rasa cinta kita kepada ortu? Sebab, ada kalanya kita suka itung-itungan dengan ortu kita. Bener nggak? Misalnya, kalo kamu udah jagain adik, kamu suka minta jatah es krim sepulang ibu dari pasar. Apalagi yang berkaitan dengan pekerjaan beres-beres rumah, ujungnya kita suka minta imbalan uang atau barang lainnya. Malah ada juga di antara teman remaja yang masang �tarif� duluan sebelum bekerja. Kita bersedia melakukan pekerjaan itu, tapi ada syaratnya: ada uang jajannya sebagai �sogokan�. Kalo nggak, kagak pake deh! Walah?
Ada cerita menarik yang berhubungan dengan tema ini dari buku Chicken Soup for the Soul karya Jack Canfield dan Mark Victor Hansen. Dikisahkan ada seorang anak yang menyodorkan selembar kertas berisi tulisan semacam tagihan kepada ibu. Isinya: Memotong rumput 5 dolar, membersihkan kamar 1 dolar, pergi ke toko menggantikan ibu 0.5 dolar, menjaga adik waktu ibunya belanja 0.25 dolar, membuang sampah 1 dolar, untuk rapor yang bagus 5 dolar, dan untuk membersihkan dan menyapu halaman 2.99 dolar. Total utang ibu kepadaku: 14.75 dolar.
Si ibu menatap anaknya lekat-lekat, lalu mengambil bolpen, dan kemudian menulis di balik kertas tersebut. Isinya begini: Untuk sembilan bulan ketika Ibu mengandung kamu selama tumbuh dalam perut Ibu, Gratis. Untuk semua malam ketika Ibu menemani kamu, mengobati kamu, dan mendoakan kamu, Gratis. Untuk semua saat susah, dan semua air mata yang kamu sebabkan selama ini, Gratis. Kalau dijumlahkan semua, harga cinta Ibu adalah Gratis. Untuk semua malam yang dipenuhi rasa takut dan untuk rasa cemas di waktu yang akan datang, Gratis. Untuk mainan, makanan, baju, dan juga menyeka hidungmu, Gratis, Anakku. Dan kalau kamu menjumlahkan semuanya, harga cinta sejati Ibu adalah Gratis.
Setelah itu, si anak berkata kepada ibunya, �Bu, aku sayang sekali sama Ibu.� Dan kemudian si anak mengambil bolpen dan menuliskan dengan huruf besar: �LUNAS�
Nah, ini sekadar contoh aja sobat, betapa kita kadangkala suka itungan sama ortu kita. Kita mogok melakukan perintahnya, hanya karena uang jajan belum masuk kantong kita. Jangan lagi deh.
Wajib menghormati mereka
Emang sih, namanya hidup berdam-pingan, apalagi ini sama ortu kita, selalu aja ada gesek-gesek dikit mah. Ibarat piring-piring yang kita cuci, selalu aja ada gesekan, sekecil apapun. Namanya juga hidup bersama.
Menghadapi ortu nggak selamanya berjalan sesuai harapan, artinya nggak dapat masalah. Suatu saat bisa jadi kita sama-sama punya kepentingan. Di sinilah akhirnya kita kudu bersikap bijak.� Ya, kita coba untuk mengalah sobat. Misalnya aja kamu seneng nonton siaran langsung sepak bola. Tapi dalam waktu yang bersamaan ortu kita juga pengen nonton wayang kulit. Kalo sama-sama ngotot kan repot. Apalagi itu hobi beratnya. Wuih, bisa perang saudara itu.
Jangankan cuma urusan kecil model begitu, untuk urusan yang rada gawat sekalipun kita tetap kudu menghormati mereka, meski ada batasannya kita nggak boleh melaksanakan permintaannya untuk menyuruh maksiat.
Dalam kitab al-'Isyrah, Thabrani meriwayatkan dengan sanad yang sampai kepada Sa'ad bin Malik, dia berkata:

"Dahulu aku seorang laki-laki yang berbakti kepada ibuku. Setelah masuk Islam, ibuku berkata: "Hai Sa'ad! Apa yang kulihat padamu telah mengubahmu, kamu harus meninggalkan agamamu ini atau aku tidak akan makan dan minum hingga aku mati, lalu kamu dipermalukan karenanya dan dikatakan: Hai pembunuh ibu!" Aku menjawab: "Hai Ibu! Jangan lakukan itu". Sungguh dia tidak makan, sehingga dia menjadi letih. Tindakannya berlanjut hingga tiga hari, sehingga tubuhnya menjadi letih sekali. Setelah aku melihatnya demikian aku berkata: "Hai Ibuku! Ketahuilah, demi Allah, jika kamu punya seratus nyawa, lalu kamu menghembuskannya satu demi satu maka aku tidak akan meninggalkan agamaku ini karena apapun. Engkau dapat makan maupun tidak sesuai dengan kehendakmu". (Tafsir Ibnu Katsir III/791).
Rasa kesal sekalipun kepada ortu jangan pernah kita tunjukkan dalam sikap atau kata-kata. Bersabar, itu lebih baik bagi kita. Firman Allah Swt.:
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (TQS al-Isr� [17]: 23)
Walau bagaimanapun juga ortu adalah segalanya buat kita. Rasa hormat dan cinta kasih kita tetap untuknya. Kapan lagi kalo tidak saat ini. Sebab, inilah salah satu bentuk berbakti kepada mereka. Allah Swt. berfirman:
Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".

"Aku bertanya kepada Rasulullah: "Amalan apakah yang dicintai oleh Allah" Beliau menjawab: "Sholat pada waktunya. Aku bertanya lagi: "Kemudian apa" Beliau menjawab: "Berbakti kepada kedua orang tua". Aku bertanya lagi: "Kemudian apa" Beliau menjawab: "Jihad dijalan Allah". (HR. Bukhari dan Muslim).
Sobat muda muslim, masih banyak ayat dan hadis yang berkaitan dengan persoalan ini. Kamu bisa eksplor lagi deh. Hmm.. betapa kalo kita mau sedikit bersikap bijak untuk merenung, ternyata cinta kita kepada ortu belum seberapa jika dibanding cinta ortu kepada kita. Salutnya, mereka nggak pernah itungan sama anaknya. Subhanallah. Yuk, kita bahagiakan mereka, kita cintai dan hormati mereka berdua. Tapi bagaimana bila mereka justru menyuruh berbuat maksiat? Jangan penuhi permintaan-nya, tapi kita tetap menghormatinya. Tugas kita adalah mengingatkan aja jika mereka berbuat salah. Itu kan lahan dakwah juga. Tul nggak? Kita belajar mencintai mereka sepenuh hati. Ridho Allah bergantung kepada ridho mereka, lho

Indahnya Cinta Karena Allah


بسم الله الرحمن الرحيم
Penulis: Ummul Hasan
Muroja’ah: Ustadz Subhan Khadafi, Lc.
“Tidaklah seseorang diantara kalian dikatakan beriman, hingga dia mencintai sesuatu bagi saudaranya sebagaimana dia mencintai sesuatu bagi dirinya sendiri.”

Secara nalar pecinta dunia, bagaimana mungkin kita mengutamakan orang lain dibandingkan diri kita? Secara hawa nafsu manusia, bagaimana mungkin kita memberikan sesuatu yang kita cintai kepada saudara kita?
Pertanyaan tersebut dapat terjawab melalui penjelasan Ibnu Daqiiqil ‘Ied dalam syarah beliau terhadap hadits diatas (selengkapnya, lihat di Syarah Hadits Arba’in An-Nawawiyah).
(“Tidaklah seseorang beriman” maksudnya adalah -pen). Para ulama berkata, “yakni tidak beriman dengan keimanan yang sempurna, sebab jika tidak, keimanan secara asal tidak didapatkan seseorang kecuali dengan sifat ini.”
Maksud dari kata “sesuatu bagi saudaranya” adalah berupa ketaatan, dan sesuatu yang halal. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh An-Nasa’i.
“…hingga dia mencintai bagi saudaranya berupa kebaikan sebagaimana dia mencintai jika hal itu terjadi bagi dirinya.”
Syaikh Abu Amru Ibnu Shalah berkata, “Hal ini terkadang dianggap sebagai sesuatu yang sulit dan mustahil, padahal tidaklah demikian, karena makna hadits ini adalah tidak sempurna iman seseorang diantara kalian sehingga dia mencintai bagi keislaman saudaranya sebagaimana dia mencintai bagi dirinya. Menegakkan urusan ini tidak dapat direalisasikan dengan cara menyukai jika saudaranya mendapatkan apa yang dia dapatkan, sehingga dia tidak turut berdesakan dengan saudaranya dalam merasakan nikmat tersebut dan tidak mengurangi kenikmatan yang diperolehnya. Itu mudah dan dekat dengan hati yang selamat, sedangkan itu sulit terjadi pada hati yang rusak, semoga Allah Ta’ala memaafkan kita dan saudara-saudara kita seluruhnya.”
Abu Zinad berkata, “Sekilas hadits ini menunjukkan tuntutan persamaan (dalam memperlakukan dirinya dan saudaranya), namun pada hakekatnya ada tafdhil (kecenderungan untuk memperlakukan lebih), karena manusia ingin jika dia menjadi orang yang paling utama, maka jika dia menyukai saudaranya seperti dirinya sebagai konsekuensinya adalah dia akan menjadi orang yang kalah dalam hal keutamaannya. Bukankah anda melihat bahwa manusia menyukai agar haknya terpenuhi dan kezhaliman atas dirinya dibalas? Maka letak kesempurnaan imannya adalah ketika dia memiliki tanggungan atau ada hak saudaranya atas dirinya maka dia bersegera untuk mengembalikannya secara adil sekalipun dia merasa berat.”
Diantara ulama berkata tentang hadits ini, bahwa seorang mukmin satu dengan yang lain itu ibarat satu jiwa, maka sudah sepantasnya dia mencintai untuk saudaranya sebagaimana mencintai untuk dirinya karena keduanya laksana satu jiwa sebagaimana disebutkan dalam hadits yang lain:
“Orang-orang mukmin itu ibarat satu jasad, apabila satu anggota badan sakit, maka seluruh jasad turut merasakan sakit dengan demam dan tidak dapat tidur.” (HR. Muslim)
“Saudara” yang dimaksud dalam hadits tersebut bukan hanya saudara kandung atau akibat adanya kesamaan nasab/ keturunan darah, tetapi “saudara” dalam artian yang lebih luas lagi. Dalam Bahasa Arab, saudara kandung disebut dengan Asy-Asyaqiiq ( الشَّّقِيْقُ). Sering kita jumpa seseorang menyebut temannya yang juga beragama Islam sebagai “Ukhti fillah” (saudara wanita ku di jalan Allah). Berarti, kebaikan yang kita berikan tersebut berlaku bagi seluruh kaum muslimin, karena sesungguhnya kaum muslim itu bersaudara.
Jika ada yang bertanya, “Bagaimana mungkin kita menerapkan hal ini sekarang? Sekarang kan jaman susah. Mengurus diri sendiri saja sudah susah, bagaimana mungkin mau mengutamakan orang lain?”
Wahai saudariku -semoga Allah senantiasa menetapkan hati kita diatas keimanan-, jadilah seorang mukmin yang kuat! Sesungguhnya mukmin yang kuat lebih dicintai Allah. Seberat apapun kesulitan yang kita hadapi sekarang, ketahuilah bahwa kehidupan kaum muslimin saat awal dakwah Islam oleh Rasulullah jauh lebih sulit lagi. Namun kecintaan mereka terhadap Allah dan Rasul-Nya jauh melebihi kesedihan mereka pada kesulitan hidup yang hanya sementara di dunia. Dengarkanlah pujian Allah terhadap mereka dalam Surat Al-Hasyr:
“(Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar(ash-shodiquun). Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr: 8-9)
Dalam ayat tersebut Allah memuji kaum Muhajirin yang berhijrah dari Makkah ke Madinah untuk memperoleh kebebasan dalam mewujudkan syahadat mereka an laa ilaha illallah wa anna muhammadan rasulullah. Mereka meninggalkan kampung halaman yang mereka cintai dan harta yang telah mereka kumpulkan dengan jerih payah. Semua demi Allah! Maka, kaum muhajirin (orang yang berhijrah) itu pun mendapatkan pujian dari Allah Rabbul ‘alamin. Demikian pula kaum Anshar yang memang merupakan penduduk Madinah. Saudariku fillah, perhatikanlah dengan seksama bagaimana Allah mengajarkan kepada kita keutamaan orang-orang yang mengutamakan saudara mereka. Betapa mengagumkan sikap itsar (mengutamakan orang lain) mereka. Dalam surat Al-Hasyr tersebur, Allah memuji kaum Anshar sebagai Al-Muflihun (orang-orang yang beruntung di dunia dan di akhirat) karena kecintaan kaum Anshar terhadap kaum Muhajirin, dan mereka mengutamakan kaum Muhajirin atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka (kaum Anshar) sebenarnya juga sedang berada dalam kesulitan. Allah Ta’aala memuji orang-orang yang dipelihara Allah Ta’aala dari kekikiran dirinya sebagai orang-orang yang beruntung. Tidaklah yang demikian itu dilakukan oleh kaum Anshar melainkan karena keimanan mereka yang benar-benar tulus, yaitu keimanan kepada Dzat yang telah menciptakan manusia dari tanah liat kemudian menyempurnakan bentuk tubuhnya dan Dia lah Dzat yang memberikan rezeki kepada siapapun yang dikehendaki oleh-Nya serta menghalangi rezeki kepada siapapun yang Dia kehendaki.
Tapi, ingatlah wahai saudariku fillah, jangan sampai kita tergelincir oleh tipu daya syaithon ketika mereka membisikkan ke dada kita “utamakanlah saudaramu dalam segala hal, bahkan bila agama mu yang menjadi taruhannya.” Saudariku fillah, hendaklah seseorang berjuang untuk memberikan yang terbaik bagi agamanya. Misalkan seorang laki-laki datang untuk sholat ke masjid, dia pun langsung mengambil tempat di shaf paling belakang, sedangkan di shaf depan masih ada tempat kosong, lalu dia berdalih “Aku memberikan tempat kosong itu bagi saudaraku yang lain. Cukuplah aku di shaf belakang.” Ketahuilah, itu adalah tipu daya syaithon! Hendaklah kita senantiasa berlomba-lomba dalam kebaikan agama kita. Allah Ta’ala berfirman:
“Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqoroh: 148)
Berlomba-lombalah dalam membuat kebaikan agama, bukan dalam urusan dunia. Banyak orang yang berdalih dengan ayat ini untuk menyibukkan diri mereka dengan melulu urusan dunia, sehingga untuk belajar tentang makna syahadat saja mereka sudah tidak lagi memiliki waktu sama sekali. Wal iyadzu billah. Semoga Allah menjaga diri kita agar tidak menjadi orang yang seperti itu.
Wujudkanlah Kecintaan Kepada Saudaramu Karena Allah
Mari kita bersama mengurai, apa contoh sederhana yang bisa kita lakukan sehari-hari sebagai bukti mencintai sesuatu bagi saudara kita yang juga kita cintai bagi diri kita…
Mengucapkan Salam dan Menjawab Salam Ketika Bertemu
“Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan kalian tidak akan beriman sampai kalian saling mencintai. Tidak maukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang jika kalian lakukan maka kalian akan saling mencintai: Sebarkanlah salam diantara kalian.” (HR. Muslim)
Pada hakekatnya ucapan salam merupakan do’a dari seseorang bagi orang lain. Di dalam lafadz salam “Assalaamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakaatuh” terdapat wujud kecintaan seorang muslim pada muslim yang lain. Yaitu keinginannya agar orang yang disapanya dengan salam, bisa memperoleh keselamatan, rahmat, dan barokah. Barokah artinya tetapnya suatu kebaikan dan bertambah banyaknya dia. Tentunya seseorang senang bila ada orang yang mendo’akan keselamatan, rahmat, dan barokah bagi dirinya. Semoga Allah mengabulkan do’a tersebut. Saudariku fillah, bayangkanlah! Betapa banyak kebahagiaan yang kita bagikan kepada saudara kita sesama muslim bila setiap bertemu dengan muslimah lain -baik yang kita kenal maupun tidak kita kenal- kita senantiasa menyapa mereka dengan salam. Bukankah kita pun ingin bila kita memperoleh banyak do’a yang demikian?! Namun, sangat baik jika seorang wanita muslimah tidak mengucapkan salam kepada laki-laki yang bukan mahromnya jika dia takut akan terjadi fitnah. Maka, bila di jalan kita bertemu dengan muslimah yang tidak kita kenal namun dia berkerudung dan kita yakin bahwa kerudung itu adalah ciri bahwa dia adalah seorang muslimah, ucapkanlah salam kepadanya. Semoga dengan hal sederhana ini, kita bisa menyebar kecintaan kepada sesama saudara muslimah. Insya Allah…
Bertutur Kata yang Menyenangkan dan Bermanfaat
Dalam sehari bisa kita hitung berapa banyak waktu yang kita habiskan untuk sekedar berkumpul-kumpul dan ngobrol dengan teman. Seringkali obrolan kita mengarah kepada ghibah/menggunjing/bergosip. Betapa meruginya kita. Seandainya, waktu ngobrol tersebut kita gunakan untuk membicarakan hal-hal yang setidaknya lebih bermanfaat, tentunya kita tidak akan menyesal. Misalnya, sembari makan siang bersama teman kita bercerita, “Tadi shubuh saya shalat berjamaah dengan teman kost. Saya yang jadi makmum. Teman saya yang jadi imam itu, membaca surat Al-Insan. Katanya sih itu sunnah. Memangnya apa sih sunnah itu?” Teman yang lain menjawab, “Sunnah yang dimaksud teman anti itu maksudnya ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Memang disunnahkan untuk membaca Surat Al-Insan di rakaat kedua shalat shubuh di hari Jum’at.” Lalu, teman yang bertanya tadi pun berkata, “Ooo… begitu, saya kok baru tahu ya…” Subhanallah! Sebuah makan siang yang berubah menjadi “majelis ilmu”, ladang pahala, dan ajang saling memberi nasehat dan kebaikan pada saudara sesama muslimah.
Mengajak Saudara Kita Untuk Bersama-Sama Menghadiri Majelis ‘Ilmu
Dari obrolan singkat di atas, bisa saja kemudian berlanjut, “Ngomong-ngomong, kamu tahu darimana kalau membaca surat Al-Insan di rakaat kedua shalat shubuh di hari Jum’at itu sunnah?” Temannya pun menjawab, “Saya tahu itu dari kajian.” Alhamdulillah bila ternyata temannya itu tertarik untuk mengikuti kajian, “Kalau saya ikut boleh nggak? Kayaknya menyenangkan juga ya ikut kajian.” Temannya pun berkata, “Alhamdulillah, insyaAllah kita bisa berangkat sama-sama. Nanti saya jemput anti di kost.”
Saling Menasehati, Baik Dengan Ucapan Lisan Maupun Tulisan
Suatu saat ‘Umar radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya tentang aibnya kepada shahabat yang lain. Shahabat itu pun menjawab bahwa dia pernah mendengar bahwa ‘Umar radhiyallahu ‘anhu memiliki bermacam-macam lauk di meja makannya. Lalu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu pun berkata yang maknanya ‘Seorang teman sejati bukanlah yang banyak memujimu, tetapi yang memperlihatkan kepadamu aib mu (agar orang yang dinasehati bisa memperbaiki aib tersebut. Yang perlu diingat, menasehati jangan dilakukan didepan orang banyak. Agar kita tidak tergolong ke dalam orang yang menyebar aib orang lain. Terdapat beberapa perincian dalam masalah ini -pen).’ Bentuk nasehat tersebut, bukan hanya secara lisan tetapi bisa juga melalui tulisan, baik surat, artikel, catatan saduran dari kitab-kitab ulama, dan lain-lain.
Saling Mengingatkan Tentang Kematian, Yaumil Hisab, At-Taghaabun (Hari Ditampakkannya Kesalahan-Kesalahan), Surga, dan Neraka
Sangat banyak orang yang baru ingin bertaubat bila nyawa telah nyaris terputus. Maka, diantara bentuk kecintaan seorang muslim kepada saudaranya adalah saling mengingatkan tentang kematian. Ketika saudaranya hendak berbuat kesalahan, ingatkanlah bahwa kita tidak pernah mengetahui kapan kita mati. Dan kita pasti tidak ingin bila kita mati dalam keadaan berbuat dosa kepada Allah Ta’ala.
Saudariku fillah, berbaik sangkalah kepada saudari muslimah mu yang lain bila dia menasehati mu, memberimu tulisan-tulisan tentang ilmu agama, atau mengajakmu mengikuti kajian. Berbaik sangkalah bahwa dia sangat menginginkan kebaikan bagimu. Sebagaimana dia pun menginginkan yang demikian bagi dirinya. Karena, siapakah gerangan orang yang senang terjerumus pada kubangan kesalahan dan tidak ada yang mengulurkan tangan padanya untuk menariknya dari kubangan yang kotor itu? Tentunya kita akan bersedih bila kita terjatuh di lubang yang kotor dan orang-orang di sekeliling kita hanya melihat tanpa menolong kita…
Tidak ada ruginya bila kita banyak mengutamakan saudara kita. Selama kita berusaha ikhlash, balasan terbaik di sisi Allah Ta’ala menanti kita. Janganlah risau karena bisikan-bisikan yang mengajak kita untuk “ingin menang sendiri, ingin terkenal sendiri”. Wahai saudariku fillah, manusia akan mati! Semua makhluk Allah akan mati dan kembali kepada Allah!! Sedangkan Allah adalah Dzat Yang Maha Kekal. Maka, melakukan sesuatu untuk Dzat Yang Maha Kekal tentunya lebih utama dibandingkan melakukan sesuatu sekedar untuk dipuji manusia. Bukankah demikian?
Janji Allah Ta’Ala Pasti Benar !
Saudariku muslimah -semoga Allah senantiasa menjaga kita diatas kebenaran-, ketahuilah! Orang-orang yang saling mencintai karena Allah akan mendapatkan kemuliaan di Akhirat. Terdapat beberapa Hadits Qudsi tentang hal tersebut.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Allah berfirman pada Hari Kiamat, “Dimanakah orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku pada hari ini? Aku akan menaungi mereka dalam naungan-Ku pada hari yang tiada naungan kecuali naungan-Ku.” (HR. Muslim; Shahih)
Dari Abu Muslim al-Khaulani radhiyallahu ‘anhu dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan: “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan dari Rabb-nya, dengan sabdanya, ‘Orang-orang yang bercinta karena Allah berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya dalam naungan ‘Arsy pada hari yang tiada naungan kecuali naungan-Nya.’”
Abu Muslim radhiyallahu ‘anhu melanjutkan, “Kemudian aku keluar hingga bertemu ‘Ubadah bin ash-Shamit, lalu aku menyebutkan kepadanya hadits Mu’adz bin Jabal. Maka ia mengatakan, ‘Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan dari Rabb-nya, yang berfirman, ‘Cinta-Ku berhak untuk orang-orang yang saling mencintai karena-Ku, cinta-Ku berhak untuk orang-orang yang saling tolong-menolong karena-Ku, dan cinta-Ku berhak untuk orang-orang yang saling berkunjung karena-Ku.’ Orang-orang yang bercinta karena Allah berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya dalam naungan ‘Arsy pada hari tiada naungan kecuali naungan-Nya.” (HR. Ahmad; Shahih dengan berbagai jalan periwayatannya)
Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, ia menuturkan, Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah berfirman, ‘Orang-orang yang bercinta karena keagungan-Ku, mereka mendapatkan mimbar-mimbar dari cahaya sehingga para nabi dan syuhada iri kepada mereka.” (HR. At-Tirmidzi; Shahih)
Alhamdulillahilladzi bini’matihi tatimmushshalihaat (artinya: “Segala puji bagi Allah, dengan nikmat-Nyalah segala kebaikan menjadi sempurna.” Do’a ini diucapkan Rasulullah bila beliau mendapatkan hal yang menyenangkan). Allah Ta’aala menyediakan bagi kita lahan pahala yang begitu banyak. Allah Ta’aala menyediakannya secara cuma-cuma bagi kita. Ternyata, begitu sederhana cara untuk mendapat pahala. Dan begitu mudahnya mengamalkan ajaran Islam bagi orang-orang yang meyakini bahwa esok dia akan bertemu dengan Allah Rabbul ‘alamin sembari melihat segala perbuatan baik maupun buruk yang telah dia lakukan selama hidup di dunia. Persiapkanlah bekal terbaik kita menuju Negeri Akhirat. Semoga Allah mengumpulkan kita dan orang-orang yang kita cintai karena Allah di Surga Firdaus Al-A’laa bersama para Nabi, syuhada’, shiddiqin, dan shalihin. Itulah akhir kehidupan yang paling indah…
Maroji’:
  1. Terjemah Syarah Hadits Arba’in An-Nawawiyyah karya Ibnu Daqiiqil ‘Ied
  2. Terjemah Shahih Hadits Qudsi karya Syaikh Musthofa Al-’Adawi
  3. Sunan Tirmidzi
***
Artikel www.muslimah.or.id